Menggali Hikmah di Lorong Rumah Sakit  

Penulis : Kania Ningsih

KotaSantri.com : Aku kemarin berada di tempat ini. Banyak orang lalu lalang. Tidak ada orang yang menutup hidung karena bau obat yang menyeruak seperti kata temanku yang sangat membenci datang ke tempat ini. Tetapi wangi pun tidak. Biasa saja. Atau lantai dan ruangan di tempat ini sudah memakai pewangi seperti yang diiklankan di TV? Ataukah penciumanku sudah tidak peka lagi karena tidak sengaja menikmati parfum pria-pria metroseksual di kampus atau sekolah, mengendus-endus uang haram, dan mencium yang terlarang. Hiy, a'udzubillah. Membayangkannya saja sungguh ngeri bin serem!

Aku kemarin berada di tempat ini. Orang-orang itu ada yang baru datang dan pergi. Kutemui berbagai wajah dan ekspresi -meski kebanyakan tak ada ekspresi karena terlalu lelah dengan cobaan hidup dan tidak tahu harus bagaimana selain menjalani hidup-. Sedih. Masih bagus ada ekspresi jika keluarga, saudara, atau teman mereka ditimpa musibah. Terkadang kesedihan, kegagalan, dan kegetiran hidup adalah lebih baik, lebih bisa mendekatkan diri pada Allah dengan meratap dan meminta tolong pada-Nya. Gembira, jika sebaliknya. Banyak yang diuji dengan kebahagiaan sehingga lupa pada Tuhannya. Perhaps we're not the one. Aku melihat banyak kehidupan di wajah itu. Wajah yang berkata tentang kehidupan.

Aku kemarin berada di tempat ini. Kukira cerita sedih saja yang ada, ternyata yang fun & entertaint juga ada. Tanpa maksud menertawakan orang, aku menemukan sepasang muda-mudi yang sedang berfoto ria depan tempat pengambilan obat. Yang lelaki berambut gondrong bergaya bak fotografer sambil memegang handphone berkamera dan memegang dagu perempuan di depannya, sedang menata gaya barangkali. Perempuan di depannya menelengkan kepala dengan gaya sedemikian rupa. Ow, sempat-sempatnya! Dan aku tersenyum. Teman di sampingku ikut tersenyum. Seketika aku jadi teringat cerita sang teman ketika beberapa waktu lalu mengantar kakaknya check up. Sedang BT-Btnya menunggu, tiba-tiba sang dokter lewat sambil ber-ssshhh ria karena kepedasan. Bibirnya terlihat memerah. Rupanya sang dokter habis makan bakso. Sempat juga ya? Aku jadi tersenyum lagi. Thank God still I found my humourous. Mungkin sebagian kamu bertanya apanya yang lucu. Tidak lucu menertawakan orang lain! Tunggu dulu, bukannya aku sudah bilang tidak bermaksud menertawakan mereka. Itu keluar spontan saja!

Hmm, jadi teringat Rasulullah. Beliau tertawa sampai kelihatan giginya, tapi tidak terbahak-bahak seperti keledai. Beliau bercanda tentang suatu yang benar, tidak ada kebohongan. Misalnya saja ketika seorang nenek bertanya kepada Rasulullah apakah dia bisa masuk surga. Rasulullah menjawab bahwa di surga tidak ada nenek-nenek. Dan menangislah si nenek mendengarnya. Rasulullah tertawa dan berkata lagi bahwa si nenek bisa masuk surga dan di sana semua orang menjadi muda termasuk si nenek. Seorang dokter anak dari West Virginia, Hunter Adams mengatakan bahwa kegembiraan adalah lebih penting dari obat apapun. Norman Cousins, pendiri psikoneuroimunology dan redaktur Saturday Review tahun 1960-an, pernah jatuh sakit dan dokter memvonisnya tak bisa sembuh lagi. Setelah membaca buku Stress of Life, dia menjadi pemburu dan penangkap tertawa. 30 menit menonton film lucu dapat memberikan kepadanya 2 jam tidur tanpa rasa sakit. Enam bulan kemudian, dia benar-benar sembuh!

Ow maaf, aku ngelantur. Kemarin aku berada di tempat ini. Disini ada fashion show. Diantara para pembesuk itu serombongan peragawati berjalan dengan anggunnya. Warna pakaian mereka senada dan terlihat mentereng membuat mata semua orang melirik. Tempat ini, lorong ini, benar-benar tepat sebagai catwalk mereka. Ah tidak. Bukan mereka saja, bukankah aku juga termasuk salah seorang dari mereka??

Teman, kemarin aku berada di tempat ini, berjalan terus tanpa melihat ujung. Yang ada di depanku hanya orang yang lalu lalang, gedung putih di kiri dan kanan, dan dua belokan yaitu kiri dan kanan. Belokan itu mirip kehidupan manusia. Belokan itu adalah pilihan hidup manusia. Manusia hidup selalu berada dalam 2 pilihan, benar atau salah, jahat atau baik, hitam atau putih. Akal, hati, dan hawa nafsunya berdiskusi untuk memilih jalan mana. Setiap jalan sudah ada konsekuensinya. Semua orang tahu kalau memilih jalan yang salah pasti akan tersesat. Sebaliknya, jalan yang benar akan menuntun pada tujuan. Hanya, apakah orang itu tahu jalan yang tempuhnya itu salah atau benar? Dia perlu bertanya pada orang yang lebih tahu.

Teman, kemarin aku berada di tempat ini. Semua terlihat serba putih, lantai keramik putih, dinding dicat putih, suster berpakaian putih, hanya sekarang dokter tidak melulu berpakaian putih, bercelana jeans pun jadi. Aku diam-diam bersyukur tidak pernah berada di tempat seperti ini lama-lama. A'udzubillah, mudah-mudahan tidak pernah. Terbayang, betapa bosannya tidur di atas seprei putih, diantara bantal putih dan dinding putih dan dikelilingi gorden putih. Fuih, padahal warna di jagat raya ini ada jutaan, man!

Betapa mengerikannya ketika kita tidak bisa berbuat apa-apa dan semua hal mesti dibantu orang, makan, minum, ke WC, mandi, wudhu! Merepotkan saja! Betapa tidak nyamannya ketika harus minum obat setiap saat. Alhamdulillaah, kata Rasulullah -kata Raihan juga- kita mesti bersyukur atas nikmat sehat sebelum sakit. Allahumma 'aafinii fi badani, allahumma 'aafin fii sam'ii, allhumma 'aafini fii basharii, laailaaha illaa anta.

Aku kemarin aku berada di tempat ini, di lorong ini, lorong rumah sakit. Banyak penulis cari inspirasi disini. Entah besok aku akan ada dimana. Aku selalu menanti kejutan. Walau tak selalu menyenangkan, menangkap berbagai hikmah yang tersembunyi dari segala kejadian akan menjadi hal yang menyenangkan. Kenapa? Karena kamu akan jadi orang yang serba bisa. Kamu bisa bicara dengan angin yang berhembus, kamu bisa bicara dengan dinding dan dengan hati manusia. Yah, tidak seekstrim itu sih, tidak seperti Nabi Sulaiman yang bisa bicara dengan semut dan binatang lain. Tapi, kamu bisa merasakannya, menggali hikmah dengan hatimu.

AddThis Social Bookmark Button

0 komentar

Posting Komentar