Tepat  

NAMANYA Muhadi, bertubuh kekar dan sehat. Usia 76 tahun. Ia tinggal di atas Kali Code, Yogya, jauh sebelum wilayah ini ramai dihuni. Gubuknya tak lebih dari 3 x 2 meter, tiada kasur, kecuali bantal plus sarung yang berfungsi sebagai selimut.

Ruang itu diterangi lampu 15 watt yang listriknya dari tetangga. Tiap malam hingga dini hari, Muhadi ditemani radio yang selalu disetel siaran wayang kesukaannya. Pakaiannya cuma tiga helai. Pintu rumahnya tidak pernah dikunci.

Muhadi memang tidak punya apa-apa, perasaannya juga tidak diombang-ambingkan oleh apa-apa. Simak saja pengakuannya pada majalah Basis: ''Senang ya tidak, karena tak ada yang bisa saya senangi. Susah ya tidak, karena tidak ada yang bisa saya susahi.''

Hidup dijalani apa adanya. Juga dalam hal makan. ''Nasi sambal saja cukup. Karena lauk orang makan itu sebenarnya hanyalah rasa lapar,'' katanya. Sebagai orang yang hidup sebatang kara, ia tidak takut mati atau khawatir mayatnya dibiarkan orang. Pasti ada yang menguburkan. Enteng, kan?

Sebuah sikap yang membuat dia merasa tenang dan tenteram. Namun, lebih dari 40 tahun yang lampau, perjalanan hidup pria asli Boyolali ini penuh kegelapan. Muhadi dibesarkan dalam keluarga bercukupan. Oleh orangtuanya, ia diberi bekal hidup; sebuah rumah dan keahlian jahit-menjahit.

Namun, Muhadi terobsesi meraup duit banyak tanpa harus bersusah payah. Caranya? Main judi. Buntutnya, mesin jahit dan rumahnya amblas di meja judi. Ia menyadari selalu kalah bertaruh, tapi tidak pernah kapok. Di mata dia, ketegangan demi ketegangan yang didapat lewat judi sangat mengasyikkan.

Dia bersikeras menguasai dan terikat pada alam materi. Tapi, begitu orangtuanya meninggal, Muhadi seperti tercampakkan dari keluarga. Ia bak sampah. Lagi-lagi pelariannya adalah judi. Adapun modal uang untuk judi diperoleh dari mencuri. Ternyata, makin sering mencuri, ia makin percaya diri.

Modal utama maling adalah tabah dan berani. Ketakutan harus bisa dikuasai. Falsafah itu dibuktikan. Saat menyatroni rumah orang kaya, misalnya, Muhadi dengan tenang melangkahi orang tidur. Patung emas di atas kepala orang itu direnggutnya, tanpa terburu-buru. Sebab, jika tergesa-gesa, akan dimakan oleh ketakutannya sendiri.

Esoknya, hasil curian itu amblas di meja judi. Begitu berulang kali, hingga akhirnya ia ditangkap dan dijebloskan ke bui. Kapok? Tidak. Penjara justru merupakan ''sekolah'' ilmu permalingan. Ia bisa belajar ilmu menghitung hari, jam, dan waktu yang tepat buat mencuri dari sesama pencuri.

Selain maling, juga mencopet. Saat kereta api mau berangkat, misalnya, ia amati sasaran. Begitu peluit tanda berangkat kereta ditiup, Muhadi segera beraksi. Dalam sekejap, ia mampu menggondol jam, kalung, atau gelang. Teriakan korban tidak berarti apa-apa, karena Muhadi sudah melompat keluar kereta.

Hasil jambretan itu dijual pada tukang tadah. Begitu duit di tangan, Muhadi berjudi lagi. Minum dia tak suka, main perempuan takut ketularan sipilis. Baru sekitar 20 tahun lalu, ia menyudahi petualangannya. Muhadi bekerja sebagai pembantu tukang tambal ban, penjaga perpustakaan keliling, dan terakhir jadi tukang tulis papan nama.

Ia tak lagi terobsesi oleh angan-angan muluk. Penghasilannya kecil tapi dirasakan cukup. ''Orang merasa susah karena ia memikirkan bagaimana hidupnya besok pagi. Saya tidak pernah berpikir tentang besok pagi. Besok ya besok, nanti ya nanti,'' katanya. Baginya, cukup berarti jika hari ini ada uang untuk makan.

Begitulah falsafah hidup Muhadi, yang cuma tamat sekolah rakyat dan gemar membaca. Buku yang dilahap, antara lain, Negosiasi karangan H. Cohen, Teologi Politik Radikal karangan Michael Novak, serta Hidup Cinta dan Petualangan Jim Bowie karya Paul L. Wellman. Buku novel Agatha Christi atau Mira W. juga disukainya.

Muhadi percaya pada Tuhan, tapi tidak seperti yang digambarkan dalam agama. ''Bagi saya, agama adalah fakta. Yang jelek atau yang baik, itu juga hanya bisa dilihat dari fakta. Apa yang baik menurut agama belum tentu baik kalau faktanya jelek,'' ujarnya.

Pemahaman itulah yang membuat Muhadi merasa harus bermanfaat bagi orang lain. Saat di kantongnya ada Rp 30.000 pemberian rekan, misalnya, dipastikan uang itu akan beralih pada orang yang sedang membutuhkan. Bisa ia berikan pada tukang becak yang seharian belum narik penumpang. Tetangga yang perlu Rp 25.000 untuk ke dokter pun dengan ringan tangan dicarikan uang.

Sepertinya, di saat Muhadi butuh bantuan, selalu ada yang mengulurkan tangan. Ia orang yang tak pernah punya uang, tapi tidak pernah merasa kekurangan. Ia merasa tidak punya bakat kaya. Alasannya, untuk jadi kaya itu harus berani pelit dan tega pada orang lain. Sifat-sifat itu tak dimilikinya.

Sebenarnya, secara tak langsung, Muhadi telah menerapkan pelajaran tentang rahasia alam. Ia memberi dengan landasan empat tepat: tepat niat, tepat sasaran, tepat waktu, dan tepat manfaat. Artinya, dia memberi pada orang yang mengerti dan menyadari diberi sehingga pemberian itu dihargai dan dimanfaatkan sebaik-baiknya.

Dan, itu tidak mudah. Butuh keikhlasan yang dalam. Banyak orang yang berlebihan, tapi kemurahan hatinya nol. Jangankan untuk memberi, mengucapkan syukur atas rezeki yang masih hangat di tangan pun mulut seakan terkunci. Keangkuhan hati sering tidak mampu membebaskan diri dari segala benih kebusukan dan kemunafikan.

Dari atas gubuk di Kali Code, sebuah pelajaran tentang memberi telah dicontohkan Muhadi. Pada sisi lain, dari rumah-rumah megah, banyak orang menumpuk harta yang bukan hak. Salat, puasa, dan umrah mereka sekadar untuk konsumsi mata orang. Dan jiwa mereka tidak pernah digelisahkan oleh dosa-dosa. Malu, ah! (Widi YM)

AddThis Social Bookmark Button

0 komentar

Posting Komentar