Dokter 5 Ribuan  

“Satu Menit Tiga Detik....!!!”

Tanya saja pada orang-orang di kota Ponorogo, sebuah kota kecil di selatan Madiun, dari kaum menengah ke bawah hingga jajaran top Pemerintah Daerah tentang sosok ini. Dokter Sunarno namanya, bisa dibilang mulai dari tukang becak, tukang ojek, pegawai negeri, pedagang sayur, guru bantu, hingga mahasiswa pun akan tahu dengan sosok satu ini. Dokter lima ribuan, begitulah ia lebih sering dikenal.

Konon dokter yang lumayan agamis ini dikenal karena tangan dinginnya dalam menangani pasien-pasiennya.

“Yen mboten mriki, mboten sumerap bu, ten mriki kulo sampun cocok*”, (Kalau nggak kesini nggak cocok bu, kalau disini saya sudah cocok)ujar salah seorang ibu tua kepada ibu saya.

Bahkan karena rumahnya bersebelahan dengan pemakaman umum, sering ia jadi bahan candaan ibu-ibu, “Itu dokter apa dukun ya, kok manjur banget.”

Namun bukan itu intinya, beliau menerapkan tarif flat alias tetap, semua sama 5000 perak. Dengan uang hanya segitu, apalagi di masa ekonomi masih belum benar-benar pulih, membuat Dr. Narno betul-betul menjadi jujugan orang kecil yang sedang sakit. Kalaupun ada biaya tambahan, itu biasanya hanya bagi mereka yang pengin suntik. “sekedar ongkos ganti jarum suntiknya” begitu kata mereka.

Dengan hanya berbekal lima ribu, mereka sudah mendapat obat satu pak kecil, entah obat apa, karena konon obat-obat tersebut sudah disiapkan sebelum pak Dokter menerima pasiennya. Begitu pasien datang, mereka ditanya sakitnya apa, lalu tinggal dikasih obatnya, ataupun kalau tambah suntik, ya tinggal tambah ongkos jarum suntuik. Meski terkesan aneh karena seperti tak ubahnya toko obat, namun akhirnya bisa dimaklumi memang karena yang datang umumnya orang-orang kecil dengan penyakit khas orang kecil, pusing, diare, batuk, pilek, demam, dan semacamnya. Namun yang lebih aneh lagi, hanya dengan obat-obatan yang terkesan “asal” begitu, hampir semua pasiennya sembuh, dan itulah kenapa mereka sering kembali lagi apabila kelak mereka sakit. “Pengaruh sugesti”, demikian pikir saya.

“Saya sudah cocok berobat di sini, kalau nggak kesini biasanya nggak sembuh-sembuh bu, kalo kesini, satu dua hari lah kok ya sembuh..!!” tutur seorang remaja putri menambahkan.

Pada mulanya saya kurang percaya pada cerita ibu saya. Kebetulan ibu saya sudah pernah berobat sekitar 4 tahun sebelumnya. Sebagai mahasiswa apalagi masih mahasiswa baru, apalagi masih dalam kondisi kritis-kritisnya dong, atau lebih tepatnya sok kritis, atau sok mahasiswa lah, harus dbuktikan, pikirku

Akhirnya mau tidak mau saya pun harus membuktikan sendiri kebenaran cerita tersebut.

Bermula dari diri saya yang jatuh sakit sewaktu pulang kampung. Saat itu masih bulan puasa, sekitar H minus 4, saya pulang. Entah kenapa di rumah saya langsung jatuh sakit, sering buang air besar, dan itu pun dalam bentuk cair, istilahnya diare. Hingga dalam sehari, terkadang saya bisa sekitar 4 hingga 5 kali, padahal sebelum pulang saya sehat wal afiat.

“Tu karena tahu mau pulang, di Malang nggak ada yang ngurusin kalo sakit, jadi sakitnya ditahan sampai Ponorogo, he..he..he.. “ seloroh kakak saya.  “Nggak, itu mungkin gara-gara kamu yang mudik malam-malam, pasti karena masuk angin saat perjalanan.”, ibu saya coba membela.

Entah apapun alasannya yang jelas akhirnya saya pun dibawa ke dokter Ani, dokter langganan keluarga kami. Namun bukan dokter Narno ini, karena kebetulan saat itu belum terpikir untuk membawa ke sana. Oleh dokter Ani, saya didakwa terkena diare, sehingga oleh dokter dianjurkan untuk tidak melanjutkan puasa hingga dirasa sembuh. Disayangkan memang, padahal sudah hampir lebaran, namun mau dikata apa lagi, saat itu badan sudah benar-benar lemas.

Sekitar dua hari kemudian, obat dari dokter Ani sudah habis, namun badan ternyata belum sembuh benar, meskipun sudah agak mendingan. Pagi itu kami kembali lagi ke dokter Ani, sekedar minta obat lagi, Namun apa dikata, di depan pagar, terpampang kertas besar seukuran A3 bertulis, “Tutup, libur lebaran, buka lagi tanggal 11 Nopember”. Rencana minta obat lagi akhirnya tidak jadi. Padahal
siang itu, kami sekeluarga harus pergi ke Surabaya, mudik ke tempat nenek dan sanak saudara yang lain.

Namun untungnya, saat tiba di rumah, ibu segera ingat, “Oh iya, ke dokter Narno saja, waah kenapa nggak dari kemarin-kemarin ke dokter narno.., ayo ke sana..!!”.

Akhirnya, jadilah, pagi itu masih sekitar jam setengah enam, kami berangkat lagi ketempat praktek dokter Narno. “Ayo jangan siang-siang, ntar keburu ramai loh, moga-moga aja dokternya nggak mudik”. Dan benar saja, jam di HP masih belum menunjukkan pukul 6 namun suasana sudah ramai.

“Wah, kok sudah ramai begini mi, ntar bisa-bisa lama nih..??”, tanyaku pada ibu saat turun dari kendaraan.

“Ah tenang saja, dokter ini, kalo menangani cepat kok, nggak sampai lima menit dah selesai. Dah deh, kamu ntar pasti kaget saking cepetnya.”, Jawab ibuku yang makin membuat saya semakin penasaran

Dari perawakan, dan penampilan mereka yang datang, memang kelihatan kalau pada umumnya mereka bisa dibilang bukan dari golongan orang yang mampu. Barangkali hanya kami berdua dan seorang ibu-ibu yang berpakaian rapi di ruang tunggu. Meskipun sudah ramai, namun dokter masih belum buka juga. “Masih nyiapkan obat”, begitu kata pak tua berpeci hitam di antrian pertama.

Ruang tunggu pasien itu terkesan sederhana, sekitar 4x4 meter. Tidak ada televisi ataupun galon air minum seperti sebelum-sebelumnya saya ke dokter praktek, apalagi suster atau petugas yang mendata pasien. Hanya kursi yang berjajar melingkari ruang tersebut. Di tengah-tengahnya ada sebuah meja dengan beberapa brosur iklan dan info-info dari produk obat tertentu diatasnya. Di dinding dan jendelanya, tertempel stiker Pilkada. Ya, dokter ini juga pernah dicalonkan menjadi wakil Bupati dalam Pilkada terakhir di kota kami, namun akhirnya hanya berhasil memperoleh urutan ke 4. Kalah dengan calon yang sudah berpengalaman sebagai “Mantan lurah”, begitu kata orang-orang.

“Kalau dulu waktu mama kesini, waktu kakakmu masih SMA, disini masih lima ribuan, nggak tahu kalau sekarang sudah naik, paling sekitar 10 ribu.”, ujar ibu saya di ruang tunggu.

“Ya mi, apalagi kan BBM juga dah beberapa kali naik, obat-obatan pun juga naik tentu”, ujarku.

Sambil menunggu, ibu saya ngobrol dengan seorang pasien di sebelahnya. Sementara saya sendiri, namun karena malas bicara, apalagi masih ada sekitar 12 orang yang antri, “Lama..”, pikirku, kubaca buku yang kubawa dari rumah. Tak sampai 15 menit, pintu sudah terbuka. Rambutnya yang sudah mulai kelihatan memutih menunjukan sosok yang sudah berumur.

Bapak berpeci hitam yang tadi kemudian masuk, “Nah, ini nih, lihat saja, nggak sampai lima menit dia pasti sudah keluar”, kata ibu saya. Saya tidak terlalu memperhatikan karena kurang begitu percaya. Ah masak sih secepat itu.

“Nah tuh kan..”, kata ibu saya. Saya langsung tertegun karena tak sampai semenit, orang tadi sudah keluar dengan sebungkus obat di tangannya. Kontan saya heran, baru pertama kali ini, saya melihat orang berobat ke dokter sedemikian cepatnya.

Dasar sok mau tahu, saya pun coba-coba menghitung, berapa lama sih waktu seorang pasien di dalam ruangan. Saat pasien ketiga masuk, Tit, saya jalankan stopwatch di HP saya. Tit, saya hentikan stop watch saat pasien tadi sudah keluar. Saya jadi tercengang melihat angka fantastis di layar HP, Satu Menit Tiga Detik...!!!!. Pasien-pasien selanjutnya semakin membuatku takjub. Hanya dua orang yang agak lama di dalam, karena pasien tersebut minta disuntik.

“Wah kalau begini nggak sampai lama bisa selesai nih..”, ujarku pada ibu. Dan benar saja, tak sampai lima belas menit kami pun sudah masuk di dalam. Di ruang praktek dokter satu ini, tangan-tangannya cekatan, Beliau memasang tensimeter, namun hanya dipompanya sebentar, saya yakin ia memang tidak mengukur tekanan darah saya. Beliau lalu memijit lenganku, sambil bertanya, “Sakitnya apa ini..??”.

“Sepertinya diare dok, kemarin sudah ke dokter lain, tapi belum sembuh. Kalau disuntik gimana dok..??”, jawab ibu saya. Mendengar kata-kata suntik, membuatku dag..dig..dug juga.

“Badannya lemes, nggak baik kalau disuntik, ini obat saja.”, Jawab dokter kontan membuat saya lega. Meski laki-laki, namun terkadang keder juga sih kalau membahas masalah satu ini.

Setelah meneyelesaikan pembayaran dan obat, kami pun keluar. Tak sampai lima menit memang, dan di luar ruang praktek, saya hampir tertawa juga. Ada juga ya, dokter seperti itu. Diagnosanya sangat simpel, bahkan menurut saya itu bukan sebuah diagnosa. Apalagi kejadian tentang tensimeter tersebut, barangkali hanya sekedar psikologis bagi pasien bahwa dia memang benar-benar diperiksa. Apalagi psikologinya orang desa, kalau nggak begitu, belum ke dokter katanya. Ada-ada saja.

Dokter sunarno, bagi kota kami, barangkali lebih dari sekedar dokter. Benar dugaan ibu saya, biayanya sekarang naik jadi 10.000, namun tetap saja, biaya tersebut sudah tergolong murah, disaat banyak dokter umum lain, mematok tarif mahal, Dokter praktek satu ini tetap dengan pendiriannya. Tarif inilah yang membuat dokter ini tetap laris dan disukai rakyat kecil, namun juga ini pula barangkali yang membuatnya terkadang diprotes rekan-rekan seprofesinya.

Namun tak hanya itu, ditambah tangan dinginnya, yang konon katanya maksimal 2 hari biasanya sudah sembuh. Entah benar tidaknya, namun obat dari Pak Dokter ini belum sempat saya minum, namun saya memang benar-benar sudah sembuh. Terakhir kali saya minum hanya sekali sekitar keesokan harinya di tempat nenek, di surabaya. Saya jadi heran dan bertanya-tanya, ini apa gara-gara habisdari pak Narno, ataukah dari obat Dokter Ani sebelumnya...?? wallahu ‘alam yang jelas saya sembuh.

Tak banyak memang dokter yang seperti beliau. Ketika di satu sisi, dokter seolah menjadi label yang “waah”, hanya orang-orang berada saja yang mampu ke sana, Dokter Narno telah mengabdikan dirinya sebagai Dokter Spesialis Rakyat Kecil. Membuatnya disukai dan dicintai banyak kalangan, menjadi jujugan rakyat kecil yang sakit. Andaikan saja semua dokter seperti beliau, barangkali Eko Prasetyo tak perlu menulis buku “Orang Miskin Dilarang Sakit”. Ummat bisa lebih sehat, termasuk juga kita berpikir sehat pula. Bahwa uang bukanlah segalanya, Namun kebahagiaan lah karena bisa berbagi pada sesama.

Jika orang berpikir mungkinkah sosok seperti Dokter Sunarno ini bisa kaya dengan lima ribu per pasien, maka jawabnya adalah Ya. Beliau sudah naik haji, beliau punya rumah yang meski sederhana namun bagus, beliau juga punya mobil kijang meski tahun 90-an, terparkir di garasinya. Namun saya rasa bukan itu alasannya, andaikan ia ingin lebih dari itu, saya rasa beliau pun mampu. Namun tentulah seberapa besar uang tersebut, ia tidak akan mampu mengganikan kebahagiaan batin
untuk membantu mereka yang terpinggirkan. Kebahagiaan menghadapi rakyat kecil, untuk membuat mereka mampu tersenyum puas dari sakitnya. Barangkali bukan karena besarnya uang tersebut, namun karena berkah dari rizkinya.

Wallahu’alam, Dalam hati saya berharap, semoga Allah memanjangkan umurnya, meridloi pekerjaannya, memberkahi rezekinya. Dan semoga saja, akan banyak lagi muncul dokter-dokter lain seperti beliau.

Dokter Sunarno, tarifnya sudah naik menjadi Rp.10.000, namun entah kenapa kami masih tetap lebih suka menyebutnya sebagai Dokter lima ribuan....

Toni Tegar Sahidi, 08175404373

Ponorogo, Penghujung akhir tahun 2005
-Ketika diare itu muncul lagi-

AddThis Social Bookmark Button

0 komentar

Posting Komentar